Selasa, 06 Oktober 2009

Ketika Kesetiaan Berkalang Maut

PERKARA "lari", Komar bisa diibaratkan dengan anak panah yang melesat dari busur. Staminanya juga panjang. Kalau hanya sekadar seratusan kilometer, ia mampu nonstop. Buktinya, perjalanan dari Tegal, Jawa Tengah, sampai Bandung, Jawa Barat, sekitar 165 kilometer potong kompas, hanya ditempuhnya dalam dua jam 25 menit.

Dengan catatan waktu inilah Komar menaklukkan 269 pesaingnya, Ahad dua pekan lalu. Sebagai kampiun, komar berhak memboyong trofi kejuaraan tingkat Jawa Barat. Ia sekaligus meraih tiket untuk maju ke kejuaraan nasional memperebutkan Piala Presiden, September mendatang.

Toh, nama Komar tidak tercantum dalam daftar atlet di Kominte Olahraga Nasional Indonesia, atau Persatuan Atletik Seluruh Indonesia. Ia juga tak tercatat di Pelatnas manapun jua. Sebab, apalah Komar: ia tak lebih dari seekor merpati pos! Namanya pun diambil dari nama depan pemiliknya: Komar Cahyana.

Menurut tuturan, lomba merpati pos di Indonesia dirintis oleh para soldadu Belanda di zaman kolonial. Rupanya, tradisi itu hidup terus, sampai kini. Seri pertandingannya berkesinambungan sepanjang tahun, mulai tingkat daerah hingga nasional. Penggemarnya datang dari Jakarta, Bandung, Solo, Semarang, Purworejo, dan Surabaya.

Para penggemar kemudian berserikat di dalam Perhimpunan Olahraga Merpati Pos Indonesia (POMP). Untuk kejuaraan tingkat Jawa Barat kali ini, sedikitnya 15 pemilik merpati --dari 20 anggota klub Alap Alap Bandung-- mengikutsertakan belasan burung andalannya. Total 270 burung diberangkatkan dari Bandung menuju Tegal, menumpang sebuah mobil bak terbuka, dua hari sebelum lomba.

Para burung menempati beberapa kandang kawat berukuran 100x60 sentimeter, dengan tinggi satu meter. Setiap kurungan ditempati 25 hingga 30 ekor. Setelah semua kontestan masuk, pintu kandang dikunci dan disegel. Sampai di Tegal, segel diperiksa pengawas lomba. "Kalau segel rusak, seluruh burung di dalam kandang itu tak bisa ikut lomba," kata Soedjad Soekardi, Ketua POMP Jawa Barat.

Soalnya, kalau segel rusak, ada kemungkinan merpati di dalamnya sudah "diutak-atik". Terutama pada karet gelang yang melilit di kaki masing-masing burung. Padahal, karet gelang itu ibarat kunci. Masing-masing burung punya nomor karet "rahasia", yang baru diketahui oleh pemilik burung ketika lomba berakhir. Pada saat seekor burung menyentuh garis finish, karet itu segera dicopot.

Momen inilah yang dijadikan pengunci gerak jarum jam. Demi menghindari kecurangan, seluruh jam khusus lomba merpati ini sebelumnya ditera dengan seksama. Dengan demikian, waktu tempuh masing-masing burung akan tercatat secara akurat. Uniknya, meskipun semua burung diberangkatkan dari tempat yang sama, finish-nya dipatok di masing-masing kandang.

Lomba dimulai pukul 07.00, setelah para kontestan rehat di Tegal sehari semalam. Sebelum panitia pelepas lomba sampai ke Bandung, para burung itu sudah nangkring di kandangnya masing-masing. Komar menclok di kandangnya di Jalan Vihara, Bandung, pada pukul 09.25. Dengan perkiraan jarak lurus Tegal-Bandung 165 kilometer, rata-rata kecepatan terbang Komar mencapai 70 kilometer per jam.

Toh, jarak Tegal-Bandung, kata Soedjad, belum seberapa. Merpati-merpati pos asal Bandung ini pernah diterbangkan dari Situbondo, Jawa Timur, dan sampai di tempat asal setelah 12 jam terbang. Lebih "gila" trayek yang bakal ditempuh pada kejuaraan nasional, September nanti. "Garis start-nya dari Lombok," kata pensiunan Departemen Keuangan itu.

Tak semua merpati mampu mengepakkan sayapnya selama dan sejauh itu. Kemampuan ini hanya monopoli merpati jenis pos, yakni burung yang punya trah "bule". Di Indonesia, kata Soedjad, merpati ini kebanyakan hasil kawin silang antara ras Yansson dan Delbar dari Belgia dan ras unggulan lainnya. Komar, misalnya, adalah keturunan hasil kawin silang ini.

Komar Cahyana memulai hobi ini pada awal 1980-an. Kini ia memiliki 100 merpati pos --semuanya masuk kelas unggulan. Tapi, hanya 50 ekor yang biasa diterbangkan. Sepuluh ekor masih dalam tahap belajar terbang. Sisanya yang 40 ekor (20 pasang) oleh Komar dibiarkan dalam kandang, dengan tugas bertelur, menghasilkan bibit unggulan lain.

Seekor merpati betina biasanya bertelur dua butir. Telur itu akan dierami bergantian oleh jantan dan betina selama 17 hari, sampai menetas. Anak burung biasanya sudah bisa terbang pada usia 40 hari, tentu dalam jarak dekat. Barulah pada usia tujuh bulan ia mendapat latihan serius. "Kami mulai melepasnya pada jarak puluhan kilometer," kata Komar.

Menginjak usia dua tahun, "Ia sudah sanggup terbang ratusan, bahkan seribu, kilometer lebih," kata Komar. Untuk memelihara semua merpatinya, Komar merogoh keceknya Rp 750 ribu sebulan. Uang itu untuk membeli pakan berupa jagung, kacang tanah, kacang hijau, dan jenis kacang lainnya. Masih ada makanan pelengkap lain, mulai vitamin hingga doping khusus burung.

"Semua vitamin itu mesti diimpor," kata Komar yang Cahyana. Pengeluaran sebesar ini tak terasa kalau ada bibit unggul yang terjual. Seekor anak turunan Komar yang burung, misalnya, bisa laku Rp 500 ribu. Harga ini bisa melambung hingga Rp 3 juta kalau si merpati telah benar-benar "jadi". Namun, harga jual merpati bertrah "bule" ini ternyata belum seberapa.

Hingga kini, rekor penjualan masih dipegang merpati jenis lokal, yakni "Tiger", milik Eeng, seharga Rp 200 juta. Pembelinya adalah penggemar "gila" merpati balap dari Probolinggo, Jawa Timur, Roy Akas namanya. "Tiger memang layak dihargakan segitu," kata Ache Sumantri, Ketua Perhimpunan Merpati Balap Seluruh Indonesia cabang Jawa Barat.

Di blantika merpati balap nasional, prestasi Tiger mememang mengkilap. Sejak dibeli Eeng seharga Rp 25 juta, pada 1998, Tiger mencetak hattrick, menjadi juara tingkat nasional tiga kali berturut-turut. Kepakan sayapnya berhasil menenggelamkan "legenda" sebelumnya, Koko, yang bertahun-tahun selalu merajai lomba.

Dibandingkan merpati pos, jumlah penggemar merpati balap jauh lebih banyak. Di Jawa Barat saja tercatat 70 anggota, belum termasuk penggemar non-organisasi. Ukuran burung balap sedikit lebih kecil dibandingkan merpati trah "bule". Tata cara lombanya pun berbeda. Kalau jarak lomba merpati pos ratusan kilometer dan finish-nya di kandang, merpati balap cukup dilepas di dalam kota, dengan garis akhir di pundak pasangannya.

Lomba ini memanfaatkan sifat merpati yang selalu setia kepada pasangan. Jenis balapan ini pun masih dibagi ke dalam dua katagori, yakni balapan datar dan balapan atas. Pada katagori pertama, gerakan pembalap adalah datar menyusuri permukaan tanah. Mereka akan secepat kilat mengerem gerakannya, dan langsung menclok di punggung betinanya.

Sedangkan pada balapan atas, setiap peserta lomba tidak sekadar adu cepat mencapai "sasaran". Setelah menempuh penerbangan tertentu, merpati harus mampu masuk area ngolong, yakni wilayah setinggi 12 meter di udara dengan luas 8x8 meter. Dari ketinggian itu, merpati akan menjatuhkan diri setelah betinanya di perlihatkan.

Saking cepatnya gerakan "terjun bebas" ini, terkadang ada merpati yang telat mengembangkan sayapnya. Akibatnya bisa fatal, merpati terhempas ke tanah. Tak sedikit di antaranya cedera, bahkan mati. Kesetiaan pun tak jarang mesti berkalang maut.

Hidayat Gunadi dan Sulhan Syafi'i (Bandung)
[Gatra Nomor 33 Beredar Senin 2 Juli 2001]


Sumber:
URL:
http://www.gatra.com/2001-07-06/versi_cetak.php?id=7637
 
Merpati Balap Jember Copyright © 2009 Blogger Template Designed by Bie Blogger Template