1. Peranan Karakter.
Dalam teori breeding sudah kita bahas bahwa sebelum memulai breeding kita harus mempunyai konsep atau gambaran karakteristik burung yang akan kita produksi (misalnya burung yg terbangnya nggremet). Setalah itu, lalu kita mencari indukan yang sudah teruji mampu menghasilkan anakan yg terbangnya nggremet atau indukan yg teruji terbangnya nggremet. Kita tau bahwa karakter (termasuk mordant) merupakan turunan. Seperti juga pernah kita bahas, menurut Steven Van Breemen, karakter ini diturunkan kepada anaknya secara "intermediary", yaitu 1/2 dari sifat bapaknya dan 1/2 lagi dari ibunya. Ini artinya, kalau kita mau memproduksi burung yang terbangnya nggremet maka induk jantan dan betina harus punya karakter terbang nggremet.
Karakter ini yang akan menentukan apakah burung MAU terbang tinggi atau tidak. Sementara apakah burung MAMPU terbang tinggi atau tidak ditentukan atau setidaknya dipengaruhi oleh fungsi anatomi dan energi yang dimilikinya. Penjelasannya, meskipun burung mempunyai kemampuan terbang tinggi, tetapi apabila anatomi atau perabotannya tidak mendukung (tidak efisien) maka akan membutuhkan tenaga yang lebih besar. Dan manakala cadangan energi yang dimiliki tidak mencukupi atau tidak mendukung, maka burung tersebut tidak akan MAMPU terbang tinggi. Khusus mengenai terbang nggremet, ada satu faktor yang tidak dibahas oleh Colin Walker, tetapi menurut saya sangat penting yaitu airsac yang menentukan cadangan oxygen. Argumentasi saya, semakin tinggi burung terbang, lapisan oxygen diudara semakin tipis. Contohnya, kalau kita berada di atas gunung nafas terasa lebih berat dibandingkan kalau kita di dataran rendah karena di dataran tinggi lapisan oxygennya lebih tipis. Selain itu, burung yang punya airsac bagus, kalau dipegang juga akan terasa lebih ringan. Faktor berat badan ini juga menentukan efisiensi penggunaan energy. Yang juga perlu diingat bahwa jumlah energy ditentukan oleh manusia yaitu dari cara pemberian pakan dan manajemen kesehatan.
2. Fungsi Bulu Sekunder dan Primer
Seperti sudah dijelaskan oleh Colin Walker, bulu sekunder yang panjang, rapat (tebal) dan agak melengkung ke bawah akan memberikan daya angkat (lift) yang maksimal. Sementara sayap primer menentukan daya dorong (propulsion). Daya dorong yang maksimal akan dihasilkan oleh permukaan sayap primer (surface area) yang luas, yaitu bulu primer yang panjang, rapat dan ujungnya bulat. Permasalahannya, untuk menggerakan surface area sayap primer yang luas diperlukan energy yang lebih besar karena kepakan sayap menjadi lebih berat. Untuk berung long distance, maka sebaiknya 4 bulu primer terluar ujungnya lancip sehingga ada ventilasi. Dengan adanya ventilasi maka kepakan sayap menjadi lebih ringan dan penggunaan energypun menjadi lebih efisien.
Bulu sekunder yang panjang, rapat dan agak melengkung hanya akan memberikan dampak mengangkat (lift) maksimal apabila didukung oleh adanya daya dorong (propulsion) yang besar. Kita lihat pesawat yang akan take off, maka sayap bagian dalam akan diturunkan dan kecepatan ditambah sehingga menimbulkan daya angkat (passive lift). Tetapi apabila bila sayap pesawat bagian dalam diturunkan dan kecepatan dikurangi, maka ia akan berfungsi sebagai rem.
Jadi fungsi sayap sekunder sebagai alat untuk mengangkat (lift) ditentukan oleh besarnya daya dorong yang dihasilkan oleh sayap primer. Permasalahnya adalah mencari perbandingan yang ideal antara panjang sayap sekunder dan primer serta cadangan energy sehingga mampu menimbulkan daya angkat yang maksimal dengan energy yang tersedia/dimiliki. Di sini kita akan berhadapan dengan beberapa kemungkinan/skenario:
a. Semakin panjang sayap sekunder, maka diperlukan sayap primer dengan permukaan sayap (surface area) yang semakin luas. Permasalahannya diperlukan energy yang lebih besar. Untuk mendeteksi permukaan sayap primer cukup luas adalah dengan melihat "step up" antara sayap sekunder dan sayap primer. Semakin besar step up, maka semakin luas permukaan sayap primer ( dengan catatan daun bulu lebar dan rapat).
b. Apabila sayap sekunder pendek dan sayap primer panjang, rapat dan lar bulat diujungnya (terlihat dari step-up yang besar) maka burung akan terbang cepat tapi ketinggian akan lebih sulit dicapai. Type sayap ini cocok untuk burung sprinter (seperti merpati balap). Kalau burung dengan sayap seperti ini tetapi punya karakter nggremet, maka untuk mencapai ketinggian yg maksimal dibutuhkan tenaga yang lebih besar dan apabila tenaganya tidak mencukupi maka dengan sendirinya akan kehabisan tenaga.
c. Permukaan sayap sekunder luas tetapi tidak didukung oleh sayap primer yang luas juga (akan ada "step-down" antara sayap sekunder dan sayap primer), maka ini jenis burung yang tidak cocok untuk terbang tinggi maupun terbang cepat. Mungkin lebih baik diafkir saja.
Yang jadi pertanyaan adalah berapa cm step-up yang ideal??. Saya kira ini sangat relatif karena juga dipengaruhi oleh ukuran badan burung. Ada yang berpendapat sekitar 1/2 cm. Tapi menurut saya yang penting adalah ada step-up yang "noticeable"/terlihat nyata. Satu hal lagi yang menurut saya perlu diperhatikan adalah kualitas otot dan tulang sayap. Dengan kualitas otot yang baik, maka penggunaan energi juga akan lebih efisien. Sementara tulang sayap yang baik akan memberikan stabilitas kepakan.
3. Stay in the Air
Saya kira pengertian stay in the air ini tidak hanya sebatas mampu terbang atau mampu diudara, tetapi juga mampu mempertahankan suatu ketinggian tertentu.
Kita tau bahwa pada saat burung di udara dia kan tidak mandek (standstill) tetapi bergerak ke depan, baik mengepak ataupun tidak mengepak (mbaplang) karena ada dorongan angin. Apabila ada daya dorong dan burung MAU terbang tinggi (karena karakternya), maka dengan struktur sayap sekunder yang baik, ketinggian akan lebih mudah dicapai dibandingkan dengan burung yang sayap sekundernya kurang baik. Saya kira itu maksud dari statement-nya Mas Colin.
Saya kira itu pendapat saya. Kalau keliru ya mohon diampuni. Ini hanya sebagai bahan diskusi yang mungkin ada manfaatnya.
Salam.
Dalam teori breeding sudah kita bahas bahwa sebelum memulai breeding kita harus mempunyai konsep atau gambaran karakteristik burung yang akan kita produksi (misalnya burung yg terbangnya nggremet). Setalah itu, lalu kita mencari indukan yang sudah teruji mampu menghasilkan anakan yg terbangnya nggremet atau indukan yg teruji terbangnya nggremet. Kita tau bahwa karakter (termasuk mordant) merupakan turunan. Seperti juga pernah kita bahas, menurut Steven Van Breemen, karakter ini diturunkan kepada anaknya secara "intermediary", yaitu 1/2 dari sifat bapaknya dan 1/2 lagi dari ibunya. Ini artinya, kalau kita mau memproduksi burung yang terbangnya nggremet maka induk jantan dan betina harus punya karakter terbang nggremet.
Karakter ini yang akan menentukan apakah burung MAU terbang tinggi atau tidak. Sementara apakah burung MAMPU terbang tinggi atau tidak ditentukan atau setidaknya dipengaruhi oleh fungsi anatomi dan energi yang dimilikinya. Penjelasannya, meskipun burung mempunyai kemampuan terbang tinggi, tetapi apabila anatomi atau perabotannya tidak mendukung (tidak efisien) maka akan membutuhkan tenaga yang lebih besar. Dan manakala cadangan energi yang dimiliki tidak mencukupi atau tidak mendukung, maka burung tersebut tidak akan MAMPU terbang tinggi. Khusus mengenai terbang nggremet, ada satu faktor yang tidak dibahas oleh Colin Walker, tetapi menurut saya sangat penting yaitu airsac yang menentukan cadangan oxygen. Argumentasi saya, semakin tinggi burung terbang, lapisan oxygen diudara semakin tipis. Contohnya, kalau kita berada di atas gunung nafas terasa lebih berat dibandingkan kalau kita di dataran rendah karena di dataran tinggi lapisan oxygennya lebih tipis. Selain itu, burung yang punya airsac bagus, kalau dipegang juga akan terasa lebih ringan. Faktor berat badan ini juga menentukan efisiensi penggunaan energy. Yang juga perlu diingat bahwa jumlah energy ditentukan oleh manusia yaitu dari cara pemberian pakan dan manajemen kesehatan.
2. Fungsi Bulu Sekunder dan Primer
Seperti sudah dijelaskan oleh Colin Walker, bulu sekunder yang panjang, rapat (tebal) dan agak melengkung ke bawah akan memberikan daya angkat (lift) yang maksimal. Sementara sayap primer menentukan daya dorong (propulsion). Daya dorong yang maksimal akan dihasilkan oleh permukaan sayap primer (surface area) yang luas, yaitu bulu primer yang panjang, rapat dan ujungnya bulat. Permasalahannya, untuk menggerakan surface area sayap primer yang luas diperlukan energy yang lebih besar karena kepakan sayap menjadi lebih berat. Untuk berung long distance, maka sebaiknya 4 bulu primer terluar ujungnya lancip sehingga ada ventilasi. Dengan adanya ventilasi maka kepakan sayap menjadi lebih ringan dan penggunaan energypun menjadi lebih efisien.
Bulu sekunder yang panjang, rapat dan agak melengkung hanya akan memberikan dampak mengangkat (lift) maksimal apabila didukung oleh adanya daya dorong (propulsion) yang besar. Kita lihat pesawat yang akan take off, maka sayap bagian dalam akan diturunkan dan kecepatan ditambah sehingga menimbulkan daya angkat (passive lift). Tetapi apabila bila sayap pesawat bagian dalam diturunkan dan kecepatan dikurangi, maka ia akan berfungsi sebagai rem.
Jadi fungsi sayap sekunder sebagai alat untuk mengangkat (lift) ditentukan oleh besarnya daya dorong yang dihasilkan oleh sayap primer. Permasalahnya adalah mencari perbandingan yang ideal antara panjang sayap sekunder dan primer serta cadangan energy sehingga mampu menimbulkan daya angkat yang maksimal dengan energy yang tersedia/dimiliki. Di sini kita akan berhadapan dengan beberapa kemungkinan/skenario:
a. Semakin panjang sayap sekunder, maka diperlukan sayap primer dengan permukaan sayap (surface area) yang semakin luas. Permasalahannya diperlukan energy yang lebih besar. Untuk mendeteksi permukaan sayap primer cukup luas adalah dengan melihat "step up" antara sayap sekunder dan sayap primer. Semakin besar step up, maka semakin luas permukaan sayap primer ( dengan catatan daun bulu lebar dan rapat).
b. Apabila sayap sekunder pendek dan sayap primer panjang, rapat dan lar bulat diujungnya (terlihat dari step-up yang besar) maka burung akan terbang cepat tapi ketinggian akan lebih sulit dicapai. Type sayap ini cocok untuk burung sprinter (seperti merpati balap). Kalau burung dengan sayap seperti ini tetapi punya karakter nggremet, maka untuk mencapai ketinggian yg maksimal dibutuhkan tenaga yang lebih besar dan apabila tenaganya tidak mencukupi maka dengan sendirinya akan kehabisan tenaga.
c. Permukaan sayap sekunder luas tetapi tidak didukung oleh sayap primer yang luas juga (akan ada "step-down" antara sayap sekunder dan sayap primer), maka ini jenis burung yang tidak cocok untuk terbang tinggi maupun terbang cepat. Mungkin lebih baik diafkir saja.
Yang jadi pertanyaan adalah berapa cm step-up yang ideal??. Saya kira ini sangat relatif karena juga dipengaruhi oleh ukuran badan burung. Ada yang berpendapat sekitar 1/2 cm. Tapi menurut saya yang penting adalah ada step-up yang "noticeable"/terlihat nyata. Satu hal lagi yang menurut saya perlu diperhatikan adalah kualitas otot dan tulang sayap. Dengan kualitas otot yang baik, maka penggunaan energi juga akan lebih efisien. Sementara tulang sayap yang baik akan memberikan stabilitas kepakan.
3. Stay in the Air
Saya kira pengertian stay in the air ini tidak hanya sebatas mampu terbang atau mampu diudara, tetapi juga mampu mempertahankan suatu ketinggian tertentu.
Kita tau bahwa pada saat burung di udara dia kan tidak mandek (standstill) tetapi bergerak ke depan, baik mengepak ataupun tidak mengepak (mbaplang) karena ada dorongan angin. Apabila ada daya dorong dan burung MAU terbang tinggi (karena karakternya), maka dengan struktur sayap sekunder yang baik, ketinggian akan lebih mudah dicapai dibandingkan dengan burung yang sayap sekundernya kurang baik. Saya kira itu maksud dari statement-nya Mas Colin.
Saya kira itu pendapat saya. Kalau keliru ya mohon diampuni. Ini hanya sebagai bahan diskusi yang mungkin ada manfaatnya.
Salam.
Hermono
Sumber:
http://merpati.org